Monday, December 4, 2006

Keramik yang Menari


Oleh : Yuswantoro Adi*

Kebanyakan orang adalah orang kebanyakan. Dan kebanyakan dari kita cenderung mengidentifikasi, melakukan klasisifikasi dan sering kali mencoba analitik ketika mengamati karya seni rupa. Maka terdengarlah kalimat sebagai berikut; Oh ini lukisan, itu patung, yang sebelah sana instalasi, kemudian diteruskan dengan menyebut karya ini beraliran abstrak-ekspresionis, yang itu realistis dan diakhiri dengan kalimat; ini adalah kontemporer dan yang itu bukan, kira-kira begitulah biasanya.

Atau kebanyakan yang kedua; menunjukkan diri nampak cerdas dengan menghubung-hubungkan karya seni (teks) kepada persoaalan lain (konteks). Masalah sosial, politik, ekonomi atau apa sajalah yang penting kelihatan kontekstual. Jika itu dirasa kurang heroik, maka dicomotlah pendapat tokoh melalui bukunya yang best-seller. Sangat jarang kita membaca pengamatan seni rupa yang bersahaja namun kena.

Padahal sesungguhnya sederhana saja. Melihat karya seni rupa, ya dilihat rupanya alias aspek visualnya. Karya itu bagus atau tidak akan terlihat pada tampilannya. Bahwa ada ‘cerita’ di balik sebuah karya itu soal lain lagi. Namun aspek visual tetaplah yang utama. Untuk bisa membaca ‘cerita’ perlu memahami terlebih dahulu banyak hal, meliputi pilihan medium, gagasan atawa konsep yang ditawarkan, teknik yang digunakan sekaligus faktor kesulitan di dalamnya, judul dan seterusnya. Dan itu sama sekali tidak sederhana!

Ada banyak parameter yang bisa dipakai untuk menakar sebuah karya seni. Pertama, perhatikanlah artistik tidaknya karya tersebut, jadi (sekali lagi) lihat aspek visualnya. Juga jangan lupa perhatikan pula apakah ada sesuatu yang baru yang ia tawarkan. Rumus dasar kesenian adalah novelty. Cari tahu apa yang ingin dikatakan seniman lewat karyanya. Dengan kata lain baca konsep yang ia panggul dan bagaimana cara ia menyampaikannya. Banyak unsur didalamnya yang bisa kita pilih sekaligus pilah. Lihat pula faktor kesulitan yang ada didalamnya. Ini erat hubungannya dengan masalah teknis. Dari kumpulan pengamatan tersebut kita bisa menentukan atau setidaknya memperkirakan seberapa pintar ia dalam kesenian yang ditekuninya. Artinya, kita bisa berkesimpulan seniman ini berbakat atau tidak. Jangan sepelekan faktor bakat, karena sesungguhnyalah ini yang membedakan antara seniman dan orang kebanyakan. Bukan bermaksud dikotomis atau bersikap tidak demokratis. Namun percayalah bahwa indikator macam ini masih tetap penting. Selanjutnya persesuaian judul dengan bentuk karya juga dengan konteks yang dibicarakan. Yang terakhir untuk diperhatikan adalah pilihan medium. Soal medium atau media bersifat nisbi. Artinya ia bisa penting atau tidak, tergantung cara kita melihatnya. Ia tidak lebih dari sekadar bahasa, meskipun demikian pemilihan bahasa yang berbeda memerlukan pembacaan yang berbeda pula. Sebagai ilustrasi; dengan judul yang sama sebuah karya sastra kemudian difilmkan , cara menikmati keduanya tentu tidak sama.

Pendekatan macam itulah yang aku pakai dalam mengamati dan mencoba memahami karya keramik yang dipamerkan oleh Tari di Via Via Kafe. Aku menyebut pameran ini sebagai Keramik yang Menari. Ada dua alasan, pertama ia (keramik itu) sangat Tari, pokoknya Tari banget deh ! Kedua, aku melihat ‘tarian’ dalam setiap karya yang ditampilkannya. Malah akan Anda lihat lebih banyak lagi ‘tari-tarian’ jika Anda meneruskan menyimak tulisanku hingga selesai nanti. Namun kali ini aku berusaha untuk tertib --setidaknya kepada teori kecil yang aku tuliskan di atas-- dengan melaporkan pengamatanku mulai dari aspek visual.

Penilaianku, karya Tari adalah unik, karena aku membaca something different yang mengggoda. Apa itu? Yaitu permainan tarik ulur antara keramik sebagai benda fungsional dan art item. Beberapa benda seperti piring, sendok, cangkir, tempat lilin dan sejenisnya sepintas masih nampak sebagai benda fungsional namun sesungguhnya bukan. Betapa Tari membuat komposisi, melakukan sedikit deformasi serta ‘membunuh’ fungsi piring dan kawan-kawan sangat menarik secara visual. Mereka menari dengan gaya mereka sendiri. Juga ada asosiasi menarik manakala membaca judul-judul yang ia terakan.

Catatan berikutnya adalah tentang sifat keramik itu sendiri. Dalam obrolan dengan Tari, ia mengungkapkan bahwa beberapa karya tidaklah sama persis dengan yang diharapkan ketika belum melalui proses pembakaran. Ada beberapa catatan kecacatan yang terjadi. Itu biasa dalam proses pembuatan keramik. Namun yang menarik adalah usaha Tari untuk merespon/mengolah kembali yang sudah terlanjur tadi. Semoga ini bukan teknologi kepepet melainkan kecerdasan visual atau yang aku sebut sebagai bakat pada alinea di depan. Seorang pembuat keramik dituntut untuk menguasai pengetahuan tentang bahan dan teknik. Dengan disiplin tinggi hal tersebut dapat dipelajari, tapi tidak berlaku untuk bakat atawa talenta. Ia adalah given dan beruntung Tari memilikinya.

Dan (lagi) bakat terbesar Tari adalah kemampuan adaptif alias menyesuaikan diri. Di bawah ini aku kutipkan statement yang ia tuliskan:

"Pada pameran ini saya merespon benda-benda fungsional yang akrab dengan keseharian kita (Routine). Yaitu dengan cara merombak ulang fungsi dan kegunaanya (Twisting)…pemilihan bentuk karya keramik ini saya sesuaikan dengan suasana kafe Via-Via."

Sesederhana itukah? Mengingat kesibukan perupa kelahiran Banda Aceh, 27 Februari 1976 yang sama sekali tidak sederhana. Mulai dari mengajar di almamaternya, membuka workshop keramik, membuat dan berdagang keramik fungsional, punya kafe, ngurusi majalah Outmags hinggga cukup aktif berpameran. Rasanya nggak rela kalo Endang Lestari cuma sesederhana itu.

Ternyata hal yang tidak sederhana itu akan kita ketemukan jika kita mau khusyuk membaca karya keramiknya. Pada karya yang berupa mangkuk-cangkir bertumpuk empat. Mangkuk tersebut di glasir, dan dengan pembakaran tinggi menjadikan tumpukan tersebut menempel satu dengan lainnya, berjudul The Cangkirlengket, (Stoneware Berglasur, 2004) ada cerita menarik tentang keinginan manusia yang tidak pernah terpuaskan. Betapa sebuah keinginan seringkali menafikan etika bahkan estetika. Bayangkanlah beberapa tubuh yang saling menyatu, hingga anggota badan kehilangan fungsinya masing-masing. Pemilihan metafora ini cukup cerdas. Sayang sebagai sebuah cerita, unsur dramatiknya belum maksimal digarap.

Ada cerita lain lagi, masih tentang manusia. Masih kurang maksimal penggarapan unsur dramatiknya. Ini kali tentang ketidak-kuasaan manusia menahan beban yang disandangnya. Tari mencoba merumuskan beban itu dengan memilih kunci sebagai simbolisasinya. Sebagai penonton, kita boleh memaknai kunci sebagai kekuasaan, pangkat, jabatan, otoritas, kepercayaan (dalam menjaga amanat serta rahasia orang lain?) atau hanya sebagai kunci semata. Tafsir seperti itu diijinkan dan sah-sah saja Karya seni adalah teks terbuka. Seniman tidak berhak memonopoli makna, apalagi mengintervensi penontonnya untuk membaca dengan cara yang sama. Yang bisa dilakukan seniman hanyalah ‘menularkan’ apa yang diinginkannya terbaca dengan alat bantu dan/atau guiding berupa judul, konsep, tema atau semacamnya. Dengan judul Kunca-kuncine, (Stoneware berglasur, 2004) merupakan karya yang bagus karena ia bersifat autokritik. Bukankan perupa memegang kunci juga?

Pada She Melted Series, (Stoneware berglasur, 2004) lebih terasa suasana teatrikalnya, terbaca sebuah perjalanan panjang figur perempuan dalam mencapai keinginannya. Tidak mudah, penuh jalan yang berliku dan kalau tidak hati-hati bisa-bisa pecah. Bisa jadi yang pecah konsentrasinya alias tidak fokus lagi atau malahan tumitnya yang pecah. Masalah tumit pecah bagi kebanyakan perempuan bukan soal sepele, lho. Piring-piring keramik berwarna kehijauan yang disusun berdasarkan alur gambar yang ada didalamnya ini paling lugas dibanding yang lain. Ia sangat bersahaja namun bisa multi-tafsir. Ia diam tapi paling ‘cerewet’. Sedikit sok tahu, aku berani bilang; karya ini bercerita tentang perjalanan seorang Tari sendiri. Bahkan aku masih berani menambahi bumbu; kamu bisa melihat keramik yang menari pada karya ini.

Ada tiga karya lagi, yakni sendok dengan gagang yang meliuk bagai penari ular. Sejumlah gelas dan cangkir yang tidak utuh lagi, terbelah dan menempel di dinding. Pada permukaanya terdapat tulisan berisi puisi karya Acep Zam Zam Noor tentang kerumitan hidup dan konflik manusia. Dan yang terakhir berbentuk tempat lilin. Tiga karya tersebut masing diberi judul Freezing Acep’s Words (Stoneware Berglasur, 2004), Dancing Spoon (Stoneware Berglasur, 2004) dan Candles for Light (Stoneware Berglasur, 2004). Sengaja ketiganya tidak aku ‘bacakan’ karena aku percaya penonton bisa membaca lebih baik, bahkan dengan lafal serta ejaan yang lebih sempurna.

Hanya ingin sedikit aku tambahkan bahwa seluruh karya keramik Tari yang disuguhkan pada kesempatan kali ini dikerjakan dengan semangat craftsmanship tinggi. Tidak ketinggalan mamakai imbuhan ragam-hias atau biasa disebut sebagai ornamentik. Juga hal-hal kecil lain yang sebagian besar masih mengikuti kaidah perkeramikan klasik.

Wassalam,
*penulis adalah pelukis yang menulis

No comments: